10 July 2014

Kawah Ijen and The Not-So-Amazing Experience Behind It!



Hidup di tengah keluarga yang suka berpetualang membuat saya bersyukur, dan juga ngeri. Iya, ngeri. Karena seringkali keluarga saya memilih untuk melancong ke tempat-tempat yang jarang dijangkau, aneh, bahkan cenderung ekstrem. Seperti saat tahun baru 2014 kemarin, kami memilih untuk berpetualang mendaki Kawah Ijen.

Kawah Ijen? Mungkin sebagian dari kalian belum akrab dengan tempat eksotis yang satu ini. Kawah Ijen merupakan sebuah kawah vulkano aktif yang berlokasi di perbatasan antara Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. Jika ingin mencapai tempat ini, kita harus menempuh perjalanan kurang lebih 6-7 jam dari Surabaya. Kami berangkat dari Surabaya pada tanggal 31 Desember, dan rencananya kami akan menginap semalam di Kota Bondowoso, baru setelah itu melanjutkan perjalanan kembali ke Kawah Ijen.

Kata orang, life will never run as smooth as we want. Tiba-tiba di tengah perjalanan, mobil Jeep yang kami gunakan mogok !!!. Alhasil kami pun harus menunggu teknisi untuk mengecek kondisi mobil tersebut. 

Untuk mengusir kebosanan sembari menunggu, saya pun ber selfie-selfie ria di pinggir jalan tol. Yay! 

 
Iya. Itu mobil derek!
Little Kurcaci
Ternyata, mobil Jeep yang kami tumpangi kondisinya sangat buruk dan tidak bisa digunakan lagi. Karena itu, Ayah menyewa mobil milik temannya dan perjalanan pun bisa dilanjutkan.

Setelah dari tol Sidoarjo, kami melewati kota Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, baru bisa sampai di Bondowoso. Malam sudah pekat saat kami sampai di kota kecil yang sepi ini. Kami pun bergegas mencari hotel untuk menginap dengan berbekal GPS dan internet. Memang, kami belum sempat mem-booking hotel sebelumnya. Sebuah kebiasaan buruk yang seringkali membuat kami terlantar karena tidak mendapat hotel. Ketika sudah begini, biasanya kami akan menumpang tidur di masjid atau pom bensin terdekat. Namun beruntung, kami masih mendapat hotel di pusat kota Bondowoso dengan fasilitas yang lumayan dan harga terjangkau.

Kesan malam tahun baru yang biasanya identik dengan keramaian dan huru-hara, sama sekali tidak kami rasakan saat berada di kota Bondowoso ini. Tidak ada pesta kembang api. Tidak juga arak-arakan motor sepanjang jalan dan acara hitung mundur untuk menyambut tahun baru. Yang ada hanyalah suara hujan rintik-rintik yang membuat malam tahun baru itu bertambah gloomy. Kami hanya bisa menonton TV di hotel dan menyaksikan keramaian di luar sana, sementara di sini suasana sunyi ditelan hujan gerimis.

Esok hari, jam 5 pagi, kami sudah bergegas check-out dari hotel untuk menuju ke Kawah Ijen. Dinginnya air shower yang menusuk tulang tidak saya hiraukan. Maklum, tidak ada fasilitas pemanas air seperti hotel bintang di hotel yang sederhana ini. Yang penting mandi, sudah itu saja.

Mengapa berangkat pagi sekali?  Karena kami dengar pendakian di Kawah Ijen ini lebih baik dilakukan pada pagi hari, agar tidak kepanasan terkena sengatan matahari.

Perjalanan dari pusat kota Bondowoso ke Kawah Ijen memakan waktu cukup singkat, hanya 1,5 jam saja. Tetapi jangan kaget jika akses menuju ke Kawah Ijen harus melalui jalanan yang sempit dan bergeronjal. Ada beberapa pos yang harus dilewati ketika menuju Kawah Ijen. Di tiap pos tersebut, pengunjung diharuskan untuk melapor.

Ketika melewati pos pertama, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Pegunungan Ijen yang sangat indah. Saya tidak mau melewatkan pemandangan tersebut, dan segera mengambil kamera  untuk berfoto-foto ria. Tidak lupa, kami juga mengisi perut kami yang keroncongan dengan membeli semangkuk bakso dan teh panas yang nikmat.


Di pos selanjutnya, terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan (lagi). Ternyata mobil yang kami sewa juga mengalami kerusakan, tangki oli mobil ini bocor sehingga olinya menetes. Mau tidak mau, mobil tersebut harus dibawa ke tempat servis. Akhirnya kami harus menyewa mobil milik penduduk setempat untuk melanjutkan perjalanan kembali.

Sesampainya di Kawah Ijen, kami langsung membeli tiket dan bersiap-siap untuk mendaki. Pendakian ini akan memakan waktu 1-2 jam, tergantung kecepatan berjalan masing-masing orang. Jalan yang dilewati adalah jalan sirtu yang lebarnya sekitar 2 meter. Untuk menuju puncak kawah, kami harus berjalan melewati jalan sepanjang 3 km. Tetapi tenang saja, ada beberapa pos dan batang kayu yang bisa digunakan pengunjung untuk duduk dan beristirahat. Selama 30 menit pertama, jalan cukup datar dan mudah dijangkau. Namun perjalanan selanjutnya sungguh menguras tenaga kami karena jalan sangat menanjak, beberapa bahkan mempunyai tingkat kemiringan diatas 40 derajat.
 



Di sepanjang perjalanan, kita bisa menjumpai beberapa penambang belerang yang membawa keranjang berisi bongkahan belerang di kedua pundaknya. Jika dikira-dikira, beban yang harus dibawa oleh penambang tersebut mungkin sekitar 25 kg. Melihat perjuangan penambang belerang tersebut, saya menjadi semakin bersemangat dan tidak sabar agar segera sampai di puncak.



But, shit happens anywhere anytime. Mendung tebal bergelayut di atas pundak, menyebabkan udara menuju puncak bertambah lembab dan dingin. Angin yang bertiup kencang membuat napas saya semakin tersengal-sengal. Tidak berapa lama kemudian, hujan deras mengguyur, membuat kami berhenti di pos pendakian setelah melakukan pendakian selama 1 jam lebih. Tekad kami semakin melemah ketika pendaki yang turun, memanas-manasi kami dengan mengatakan bahwa puncak kawah tidak terlihat karena tertutup kabut. Akhirnya, kami memutuskan untuk turun. Badan kami basah kuyup karena nekat menerobos hujan. Ya, perjalanan ini gagal total karena kami belum bisa mencapai puncak dan melihat kawah. Tetapi belum bisa belum tentu tidak bisa, bukan?

Kekecewaan kami sedikit terobati setelah mengunjungi Air Terjun Banyupait yang letaknya di dekat Kawah Ijen. Air terjun tersebut terdiri dari batu-batuan pegunungan yang sangat besar, dan mempunyai aliran air yang cukup deras. Menciptakan sebuah pemandangan yang mampu membuat mata saya terpana.

Air Terjun Banyupait

Karena mobil mengalami kerusakan parah yang mengharuskannya diperbaiki, kami pun tidak bisa pulang. Beruntung, salah satu penduduk setempat menawarkan rumahnya untuk tempat kami menginap. Kami pun mengambil tawaran baik itu mengingat terbatasnya jumlah penginapan yang ada di wilayah tersebut.

Malamnya, saya masih merutuk dan menganggap hari itu sebagai hari paling sial yang pernah saya alami. Terjebak di tempat antah-berantah dengan mobil yang dua kali mogok dan tidak bisa sampai di Kawah Ijen bukan merupakan hal yang menyenangkan. Tetapi dalam hati, saya masih menyimpan keinginan untuk mencapai Puncak Kawah Ijen. Saya belum puas. Karena itulah, keesokan harinya, saya berniat untuk mendaki kawah ijen kembali dengan ditemani oleh keponakan sang pemilik rumah. Kali ini keluarga saya tidak ikut, mereka memilih untuk mengunjungi pemandian air panas. Tidak capek mendaki dua kali? Tentu saja capek, tapi keinginan kuat saya untuk sampai di puncak Kawah Ijen mengalahkan segalanya *ceilah*.

 Kondisi cuaca saat itu untungnya masih lebih baik dari kemarin, hanya sedikit mendung dan gerimis. Karena sudah mengenal medan, saya pun mendaki dengan lebih lancar. Namun tetap saja, setiap ada tempat perhentian, saya berhenti sejenak untuk mengambil napas yang terasa tersengal-sengal. Udara semakin tipis dan kabut yang menutupi jalur pendakian semakin pekat. Benar-benar perjalanan yang menguras tenaga. Tapi saya tidak mau menyerah. Akhirnya berbekal sisa tenaga yang masih tersisa, saya melanjutkan perjalanan yang semakin mendaki dan sangat curam. Kaki ini rasanya seperti tidak bisa bertumpu pada tempatnya lagi. Saat menemui sebuah warung makan, kami pun berhenti untuk membeli kopi dan mie instan.

Setelah melewati jalanan yang curam dan licin, akhirnya perjalanan pun lebih mulus dan datar. Senyum mengembang di bibir saya karena saya merasa tujuan saya semakin dekat. 

Dan akhirnya, setelah melewati perjalanan yang begitu panjang dan kegagalan yang sempat saya alami kemarin, saya berhasil sampai di Puncak Kawah Ijen! 





Guide pribadi. Mas Muji.
Pendakian panjang tersebut terasa tidak sia-sia ketika saya melihat pemandangan puncak Kawah Ijen yang begitu wonderful dan very breath-taking. Saking indahnya sampai saya tidak mampu berkata-kata. Di samping kanan saya terhampar permadani biru yang terlihat seperti riak air di samudera. Saya berada di atas awan, sepertinya. 


Dan inilah pemandangan yang saya tunggu-tunggu. Kawah Ijen dengan kawahnya yang berwarna hijau tosca dengan tebing-tebing mirip Grand Canyon di sekelilingnya. 

Kawah Ijen
Konon, saat malam hari Kawah Ijen mempunyai fenomena “blue flame”, yaitu api biru yang memancar karena reaksi belerang di dalam kawah. Fenomena ini hanya bisa ditemukan di dua tempat di dunia ini, yaitu di Irlandia dan Indonesia (Kawah Ijen). 
Bangga nggak tuh Indonesia punya tempat indah seperti ini? Sumber:Google

Setiap perjalanan tentunya memberikan pelajaran yang berharga. Begitu pula dengan perjalanan ini. Saya mendapat banyak pelajaran dan pemikiran baru yang pada akhirnya membuat saya lebih bersyukur akan hidup. Pendakian ini ibarat perjalanan hidup yang harus kita lalui. Ada jalan yang datar, memutar, menanjak, bahkan menukik tajam. Mungkin perjalanan itu tidak selalu mudah, akan selalu ada rintangan yang menghambat langkah kita. Mungkin rintangan itu sampai membuat kita terdepak keluar dari tujuan kita, dan merasa gagal. Namun akan selalu ada pilihan. Pilihan untuk menyerah dengan mimpi atau mencoba lagi setelah kita gagal. Saya memilih mencoba lagi. Kalau Anda?

Sekian catatan perjalanan saya.

Be grateful of your life, and don’t stop loving Indonesia!


(Bicara tentang judul entri ini, mungkin kalian ingat sama bukunya Alexander Thian yang berjudul “The Not So Amazing Life of Amrazing”. Saya juga suka blog-walking di blog nya yang banyak bercerita tentang hidup. Very recommended buat dijadiin referensi untuk nulis.)


0 comment: