Hidup
di tengah keluarga yang suka berpetualang membuat saya bersyukur, dan juga
ngeri. Iya, ngeri. Karena seringkali keluarga saya memilih untuk melancong ke
tempat-tempat yang jarang dijangkau, aneh, bahkan cenderung ekstrem. Seperti saat
tahun baru 2014 kemarin, kami memilih untuk berpetualang mendaki Kawah Ijen.
Kawah
Ijen? Mungkin sebagian dari kalian belum akrab dengan tempat eksotis yang satu
ini. Kawah Ijen merupakan sebuah kawah vulkano aktif yang berlokasi di perbatasan
antara Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. Jika ingin mencapai tempat ini, kita
harus menempuh perjalanan kurang lebih 6-7 jam dari Surabaya. Kami
berangkat dari Surabaya pada tanggal 31 Desember, dan rencananya kami akan
menginap semalam di Kota Bondowoso, baru setelah itu melanjutkan perjalanan
kembali ke Kawah Ijen.
Kata
orang, life will never run as smooth as
we want. Tiba-tiba di tengah perjalanan, mobil Jeep yang kami gunakan mogok
!!!. Alhasil kami pun harus menunggu teknisi untuk mengecek kondisi mobil
tersebut.
Untuk
mengusir kebosanan sembari menunggu, saya pun ber selfie-selfie ria di pinggir jalan tol. Yay!
| Iya. Itu mobil derek! |
| Little Kurcaci |
Ternyata,
mobil Jeep yang kami tumpangi kondisinya sangat buruk dan tidak bisa digunakan
lagi. Karena itu, Ayah menyewa mobil milik temannya dan perjalanan pun bisa dilanjutkan.
Setelah
dari tol Sidoarjo, kami melewati kota Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, baru bisa
sampai di Bondowoso. Malam sudah pekat saat kami sampai di kota kecil yang sepi
ini. Kami pun bergegas mencari hotel untuk menginap dengan berbekal GPS dan
internet. Memang, kami belum sempat mem-booking
hotel sebelumnya. Sebuah kebiasaan buruk yang seringkali membuat kami terlantar
karena tidak mendapat hotel. Ketika sudah begini, biasanya kami akan menumpang
tidur di masjid atau pom bensin terdekat. Namun beruntung, kami masih mendapat
hotel di pusat kota Bondowoso dengan fasilitas yang lumayan dan harga
terjangkau.
Kesan
malam tahun baru yang biasanya identik dengan keramaian dan huru-hara, sama
sekali tidak kami rasakan saat berada di kota Bondowoso ini. Tidak ada pesta
kembang api. Tidak juga arak-arakan motor sepanjang jalan dan acara hitung mundur
untuk menyambut tahun baru. Yang ada hanyalah suara hujan rintik-rintik yang
membuat malam tahun baru itu bertambah gloomy.
Kami hanya bisa menonton TV di hotel dan menyaksikan keramaian di luar sana,
sementara di sini suasana sunyi ditelan hujan gerimis.
Esok
hari, jam 5 pagi, kami sudah bergegas check-out
dari hotel untuk menuju ke Kawah Ijen. Dinginnya air shower yang menusuk tulang
tidak saya hiraukan. Maklum, tidak ada fasilitas pemanas air seperti hotel
bintang di hotel yang sederhana ini. Yang penting mandi, sudah itu saja.
Mengapa
berangkat pagi sekali? Karena kami
dengar pendakian di Kawah Ijen ini lebih baik dilakukan pada pagi hari, agar
tidak kepanasan terkena sengatan matahari.
Perjalanan
dari pusat kota Bondowoso ke Kawah Ijen memakan waktu cukup singkat, hanya 1,5 jam
saja. Tetapi jangan kaget jika akses menuju ke Kawah Ijen harus melalui jalanan
yang sempit dan bergeronjal. Ada beberapa pos yang harus dilewati ketika menuju
Kawah Ijen. Di tiap pos tersebut, pengunjung diharuskan untuk melapor.
Ketika
melewati pos pertama, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil
menikmati pemandangan Pegunungan Ijen yang sangat indah. Saya tidak mau melewatkan
pemandangan tersebut, dan segera mengambil kamera untuk berfoto-foto ria. Tidak lupa, kami juga
mengisi perut kami yang keroncongan dengan membeli semangkuk bakso dan teh
panas yang nikmat.
Di
pos selanjutnya, terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan (lagi). Ternyata
mobil yang kami sewa juga mengalami kerusakan, tangki oli mobil ini bocor sehingga
olinya menetes. Mau tidak mau, mobil tersebut harus dibawa ke tempat servis.
Akhirnya kami harus menyewa mobil milik penduduk setempat untuk melanjutkan
perjalanan kembali.
Sesampainya
di Kawah Ijen, kami langsung membeli tiket dan bersiap-siap untuk mendaki.
Pendakian ini akan memakan waktu 1-2 jam, tergantung kecepatan berjalan
masing-masing orang. Jalan yang dilewati adalah jalan sirtu yang lebarnya
sekitar 2 meter. Untuk menuju puncak kawah, kami harus berjalan melewati jalan
sepanjang 3 km. Tetapi tenang saja, ada beberapa pos dan batang kayu yang bisa
digunakan pengunjung untuk duduk dan beristirahat. Selama 30 menit pertama,
jalan cukup datar dan mudah dijangkau. Namun perjalanan selanjutnya sungguh menguras
tenaga kami karena jalan sangat menanjak, beberapa bahkan mempunyai tingkat
kemiringan diatas 40 derajat.
Di
sepanjang perjalanan, kita bisa menjumpai beberapa penambang belerang yang
membawa keranjang berisi bongkahan belerang di kedua pundaknya. Jika
dikira-dikira, beban yang harus dibawa oleh penambang tersebut mungkin sekitar
25 kg. Melihat perjuangan penambang belerang tersebut, saya menjadi semakin bersemangat
dan tidak sabar agar segera sampai di puncak.
But, shit happens anywhere anytime.
Mendung tebal bergelayut di atas pundak, menyebabkan udara menuju puncak
bertambah lembab dan dingin. Angin yang bertiup kencang membuat napas saya
semakin tersengal-sengal. Tidak berapa lama kemudian, hujan deras mengguyur, membuat
kami berhenti di pos pendakian setelah melakukan pendakian selama 1 jam lebih. Tekad
kami semakin melemah ketika pendaki yang turun, memanas-manasi kami dengan mengatakan
bahwa puncak kawah tidak terlihat karena tertutup kabut. Akhirnya, kami
memutuskan untuk turun. Badan kami basah kuyup karena nekat menerobos hujan.
Ya, perjalanan ini gagal total karena kami belum bisa mencapai puncak dan
melihat kawah. Tetapi belum bisa belum
tentu tidak bisa, bukan?
Kekecewaan
kami sedikit terobati setelah mengunjungi Air Terjun Banyupait yang letaknya di
dekat Kawah Ijen. Air terjun tersebut terdiri dari batu-batuan pegunungan yang
sangat besar, dan mempunyai aliran air yang cukup deras. Menciptakan sebuah pemandangan
yang mampu membuat mata saya terpana.
| Air Terjun Banyupait |
Karena
mobil mengalami kerusakan parah yang mengharuskannya diperbaiki, kami pun tidak
bisa pulang. Beruntung, salah satu penduduk setempat menawarkan rumahnya untuk
tempat kami menginap. Kami pun mengambil tawaran baik itu mengingat terbatasnya
jumlah penginapan yang ada di wilayah tersebut.
Malamnya,
saya masih merutuk dan menganggap hari itu sebagai hari paling sial yang pernah
saya alami. Terjebak di tempat antah-berantah dengan mobil yang dua kali mogok
dan tidak bisa sampai di Kawah Ijen bukan merupakan hal yang menyenangkan.
Tetapi dalam hati, saya masih menyimpan keinginan untuk mencapai Puncak Kawah
Ijen. Saya belum puas. Karena itulah, keesokan harinya, saya berniat untuk mendaki
kawah ijen kembali dengan ditemani oleh keponakan sang pemilik rumah. Kali ini
keluarga saya tidak ikut, mereka memilih untuk mengunjungi pemandian air panas.
Tidak capek mendaki dua kali? Tentu saja capek, tapi keinginan kuat saya untuk
sampai di puncak Kawah Ijen mengalahkan segalanya *ceilah*.
Kondisi cuaca saat itu untungnya masih lebih
baik dari kemarin, hanya sedikit mendung dan gerimis. Karena sudah mengenal
medan, saya pun mendaki dengan lebih lancar. Namun tetap saja, setiap ada
tempat perhentian, saya berhenti sejenak untuk mengambil napas yang terasa
tersengal-sengal. Udara semakin tipis dan kabut yang menutupi jalur pendakian
semakin pekat. Benar-benar perjalanan yang menguras tenaga. Tapi saya tidak mau
menyerah. Akhirnya berbekal sisa tenaga yang masih tersisa, saya melanjutkan
perjalanan yang semakin mendaki dan sangat curam. Kaki ini rasanya seperti tidak
bisa bertumpu pada tempatnya lagi. Saat menemui sebuah warung makan, kami pun berhenti
untuk membeli kopi dan mie instan.
Setelah
melewati jalanan yang curam dan licin, akhirnya perjalanan pun lebih mulus dan
datar. Senyum mengembang di bibir saya karena saya merasa tujuan saya semakin
dekat.
Dan akhirnya, setelah melewati perjalanan yang begitu panjang dan
kegagalan yang sempat saya alami kemarin, saya berhasil sampai di Puncak Kawah Ijen!
| Guide pribadi. Mas Muji. |
Pendakian
panjang tersebut terasa tidak sia-sia ketika saya melihat pemandangan puncak
Kawah Ijen yang begitu wonderful dan very breath-taking.
Saking indahnya sampai saya tidak mampu berkata-kata. Di samping kanan saya
terhampar permadani biru yang terlihat seperti riak air di samudera. Saya
berada di atas awan, sepertinya.
Dan
inilah pemandangan yang saya tunggu-tunggu. Kawah Ijen dengan kawahnya yang
berwarna hijau tosca dengan tebing-tebing mirip Grand Canyon di sekelilingnya.
| Kawah Ijen |
Konon, saat malam hari Kawah Ijen mempunyai fenomena “blue flame”, yaitu api biru yang memancar karena reaksi belerang
di dalam kawah. Fenomena ini hanya bisa ditemukan di dua tempat di dunia ini,
yaitu di Irlandia dan Indonesia (Kawah Ijen).
Setiap
perjalanan tentunya memberikan pelajaran yang berharga. Begitu pula dengan
perjalanan ini. Saya mendapat banyak pelajaran dan pemikiran baru yang pada
akhirnya membuat saya lebih bersyukur akan hidup. Pendakian ini ibarat
perjalanan hidup yang harus kita lalui. Ada jalan yang datar, memutar, menanjak,
bahkan menukik tajam. Mungkin perjalanan itu tidak selalu mudah, akan selalu
ada rintangan yang menghambat langkah kita. Mungkin rintangan itu sampai membuat
kita terdepak keluar dari tujuan kita, dan merasa gagal. Namun akan selalu ada
pilihan. Pilihan untuk menyerah dengan mimpi atau mencoba lagi setelah kita gagal.
Saya memilih mencoba lagi. Kalau Anda?
Sekian
catatan perjalanan saya.
Be grateful of your life, and don’t stop loving Indonesia!
(Bicara
tentang judul entri ini, mungkin kalian ingat sama bukunya Alexander Thian yang
berjudul “The Not So Amazing Life of Amrazing”. Saya juga suka blog-walking di
blog nya yang banyak bercerita tentang hidup. Very recommended buat dijadiin referensi untuk nulis.)

0 comment:
Post a Comment