27 December 2012

Trip to care-moon java (3)



A: Ini tulisan mau berakhir sampe part keberapa ya? Kok gak ada habis-habisnya kayak ‘Cinta Fitri’.
B: Sabaaar, sabaaaar. Karimunjawa emang terlalu luas untuk diungkap dengan kata-kata kok, ehehe :3. Nih aku kasih foto-foto aja dah biar puas.




 

       Pada hari yang cerah itu, kami dibangunkan mas Anto pagi-pagi sekali. Maklum, agenda hari itu akan jadi sangat padat dan sibuk. Setelah menyantap santap pagi yang mak nyos, para mas-mas asisten mas Anto sudah bersiap mengepak alat-alat snorkeling, seperti alat bantu pernafasan, sepatu katak, dan pelampung ke mobil “pick-up”. Saya pun cuma bisa nyinyir senang, pasti nanti agenda kami penuh dengan bersnorkeling ria. Rombongan pun dibagi menjadi dua. Saya sekeluarga ditempatkan pada sebuah perahu mesin kecil *sayangnya bukan perahu kertas*, dan sisanya di perahu yang lain. Kami naik perahu bertuliskan ‘Pesona Bahari’.
Perahu bergerak ke arah barat laut menuju Pulau Menjangan Kecil. Disitu, kami dilepas untuk ber-snorkeling melihat keindahan bawah lautnya setelah mendapat pengarahan dari Bapak Pemandu. Alhasil saya menceburkan diri, deh. Di pantai yang tidak dalam itu pun banyak wisatawan yang ketimpang ketimpung kesana kemari. Tak disangka, ayah saya menginjak seekor Bulu Babi, hewan beracun yang mempunyai duri seperti landak. Memang sebelum snorkeling, kami sudah diingatkan untuk berhati-hati, tidak boleh menginjakkan kaki sembarangan ke terumbu karang apalagi memegang hewan-hewan laut karena ada beberapa yang berbahaya. Sepatu katak itu gunanya untuk melindungi kaki saat menyelam, tetapi Ayah saya melepas sepatu itu dengan dalih membuat kaki terasa berat saat berenang. Nggak heran deh kalau tidak sengaja menginjak Bulu Babi. Karena hal tersebut, ayah saya melenguh kesakitan dan tidak bisa ber-snorkeling lagi untuk beberapa hari kedepan. Sayang banget, padahal beliau pintar berenang. Untunglah racun dari bulu babi itu tidak terlalu berbahaya, karena tidak menyebar ke seluruh bagian tubuh. Hanya saja, bagian yang terkena duri tersebut akan berbecak bentol-bentol kemerahan. 
Bulu babi
Setelah puas menikmati pulau Menjangan Kecil, kami dilarikan agak jauh ke barat menuju pulau Cemara Besar. Arus di sekitar pantai Barat tidak terlalu besar. Saat perjalanan itu, saya diberitahu oleh bapak pemandu bahwa ada satu pulau yang telah dibeli oleh investor asing dari Italia, saya lupa pulau apa namanya. Yang jelas di pulau tersebut sudah dibangun resor-resor mewah yang dikhususkan untuk wisatawan asing.
Matahari sudah mulai meninggi, perut saya pun sudah menunggu untuk segera diisi. Sesampainya di pulau Cemara Besar, kru mas Anto telah membawa alat untuk bakar-bakar ikan dalam satu perahu. Kami pun disuruh menunggu ikan-ikan itu dibakar, sembari berjalan-jalan mengelilingi pulau. Pulau itu tidak besar sehingga cukup mudah untuk ditelusuri. Airnya pun terasa hangat membelai kaki. Tidak berapa lama, hidangan pun siap tersaji. Kami disuguhkan beberapa ikan besar-besar yang unik sekali namanya. Ada ikan beo yang berwarna biru, ikan kakak tua yang berwarna kekuningan, dan lain-lain. Nama ikan disini sama seperti nama burung, kata pak pemandu sih karena ikan disini terlalu banyak macamnya dan susah untuk dibedakan, jadilah namanya disebut seperti burung. Rasa ikan bakar tersebut, tidak usah ditanya. Mantap sekali, gan!! 

Ditemani semilir angin yang membelai ujung-ujung rambut, saya menyantap hidangan ikan bakar tersebut sampai habis. Tidak lupa juga kru membawakan berbagai macam sambal sesuai selera, ada sambal terasi, sambal pencit, dan sambal kecap. Ah, Indonesia, Indonesia. Persis kayak salah satu iklan provider, kami dimanjakan sekali olehmu, oleh tanahmu yang indah, oleh makanan khas-mu yang nikmat tiada terkira. Hehehe.
Nah, setelah kenyang, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Perahu melaju menuju dermaga setelah kami di beri kesempatan snorkeling di tengah laut. Jadi, kalau di pulau Menjangan Kecil itu kami disuguhkan pemandangan laut yang dangkal, maka kali ini kami disuguhkan oleh taman laut yang indah dengan kedalaman ratusan meter dari permukaan laut. Bahkan, kata Ibu dari Jogjakarta, beliau sempat melihat ikan hiu besar melintas dibawah kakinya.
Setelah itu, rombongan mengunjungi tempat penangkaran hiu yang ada di dekat dermaga. Pengunjung dibolehkan berenang dan berfoto bersama hiu-hiu kecil disana. Karena hiu merupakan binatang yang agresif, kami tidak diperbolehkan menyentuh bagian tubuhnya dengan sengaja. Pernah ada satu peristiwa, dimana hiu tersebut memakan tangan manusia karena orang itu menarik ekornya, LOL.
Sekedar info, di tempat pembudidayaan hiu tersebut juga disewakan beberapa rumah terapung dengan tarif lumayan terjangkau per harinya. Ini biasanya yang sering dibuat promosi pada beberapa halaman website yang saya lihat.
Lantaran hari sudah semakin sore, kami pun pulang menuju pulau Karimunjawa, pulau yang paling banyak penduduknya dibanding pulau-pulau yang lain dalam rangkaian kepulauan di utara Jawa tersebut.
Malam harinya, saya menyempatkan diri untuk bersepeda meminjam sepeda “Polygon” milik mas Anto. Sebelum bersepeda, mas Anto sempat bercanda, “Udah, keliling aja dek. Jalanan disini gak banyak kok, nanti juga kamu muter-muter ketemu sendiri sama penginapan ini.” . Saya berkeliling menyusuri alun-alun kecamatan, gang-gang kecil perumahan penduduk, dan kembali lagi ke penginapan.  
Daripada nanggung, mending saya post juga ya kegiatan esok harinya. Hehehe.
 
Berfoto di Gosong
Jadi, hari ketiga ini merupakan hari terakhir kami di kepulauan Karimunjawa. Agenda hari itu adalah menelusuri pulau di sebelah timur pulau Karimunjawa yang katanya berombak besar dan sering terjadi badai. Pertama, tali perahu dikaitkan pada pinggiran Gosong, bernama Gosong Seloka. Gosong adalah sebutan untuk pantai di tengah laut yang bisa tenggelam dan timbul kapan saja. Ngeri nggak tuh?. Biasanya, gosong itu akan tampak pada pagi hari dan akan tenggelam dengan sendirinya pada sore hari, saat permukaan laut sudah meninggi. Disana kami berfoto-foto dan snorkeling *lagi* sampai kulit rasanya mau terbakar.
Pulau di bagian timur Karimunjawa tidak banyak, dan rata-rata harus ditempuh dalam perjalanan yang lumayan lama karena letaknya yang cukup jauh. Dari gosong, perahu melaju ke timur lagi menuju beberapa pulau kecil, yang saya lupa lagi namanya -___-“. Parah ye pelupanya. Pokoknya di pulau itu, taman lautnya saya acungin dua jempol, paling bagus deh daripada taman laut yang sebelumnya. Selain terumbu karangnya yang berwarna-warni, ada juga ikan nemo dan biota laut lainnya yang lucu-lucu. Kedalamannya juga tidak terlalu membuat bulu kuduk merinding. Sia-sia deh kalau dilewatkan.
Nah, matahari sudah meninggi. Kami tidak lupa melewatkan ritual biasa, makan ikan bakar yang dimasak oleh tangan-tangan perkasa dari para kru mas Anto, ditambah berbagai sambal khas yang mak nyooos.
Oke, setelah kekenyangan kami pun dibawa ke beberapa pulau lainnya. Saat itu saya dibuat ngantuk oleh semilir angin dan perut yang terisi full, sehingga saya pun tidur di dalam perahu dan tidak sempat turun menyaksikan tempat destinasi yang lain. Pokoknya saat saya sudah sadar, saya melihat satu rombongan perahu dari mahasiswa pencinta alam UNDIP yang snorkeling di tengah laut.
Saat pulang, perahu melaju lebih lambat dari sebelumnya. Sang pemegang kendali perahu seakan tahu cara memanjakan kami pada hari-hari terakhir di Kepulauan Karimunjawa. Karena di sela-sela perjalanan itu, kami disuguhkan pemandangan langit oranye yang penuh oleh sisa-sisa sinar mentari yang akan tenggelam di ufuk barat. Tidak saya sadari, kulit yang sudah berubah kehitaman karena terbakar oleh sengatan matahari beberapa hari itu. Sampai di Surabaya, harus melakukan pemutihan kulit nih.
Dan malam terakhir hari itu, saya lewati dengan berdiam saja di kamar. Mengamati hangatnya sinar rembulan di balkon depan kamar, dan mendengarkan beberapa lagu dari handphone. Galau, yah, galau meninggalkan tempat seindah Karimunjawa. Sementara di bawah, Mas Boni, Ibunya mas Boni, Mbak Benta, dan Mbak Lusi asyik bercengkerama. Sayup-sayup saya mendengar cerita mbak Benta, “Beneran loh, Karimunjawa ini lebih asyik daripada di Lombok, Bali, atau dimanapun tempat yang udah gue kunjungi. Pantainya masih alami, bersih, dan yang lebih penting lagi gue bisa berenang pakai bikini tanpa banyak orang yang lihat.” yang kemudian disusul dengan cengiran dan suara ketawa dari lainnya. “Ah, loe mah bisa aja. Mau ada yang liat ato gak, loe tetep pake bikini kan kalo kemana-mana.” kata mbak Lusi. “Daripada loe yang pake bikini, tar dikira Gajah Ragunan lepas lagi. Hihihi.” sahut mbak Benta lagi.
Ah….. malam itu pun kami packing karena ternyata harus pulang malam itu juga. Rombongan mahasiswa pencinta alam dari UNDIP itu sudah tidak punya tempat untuk menginap, kecuali di kamar atas tempat kami tidur tiga hari itu. Kami pun harus mengalah. Kapal Feri yang mengantar kami pulang, berangkat dari dermaga pukul 9 malam. Kami diantar oleh carry hijau ke dermaga, dan balik pulang menaiki kapal Feri menuju Jepara.
Bye-bye Care Moon Java.
I miss you so bad.

0 comment: