A: Ini tulisan mau berakhir sampe part
keberapa ya? Kok gak ada habis-habisnya kayak ‘Cinta Fitri’.
B: Sabaaar, sabaaaar. Karimunjawa
emang terlalu luas untuk diungkap dengan kata-kata kok, ehehe :3. Nih aku kasih
foto-foto aja dah biar puas.
Perahu bergerak ke arah barat
laut menuju Pulau Menjangan Kecil. Disitu, kami dilepas untuk ber-snorkeling melihat keindahan bawah
lautnya setelah mendapat pengarahan dari Bapak Pemandu. Alhasil saya
menceburkan diri, deh. Di pantai yang tidak dalam itu pun banyak wisatawan yang
ketimpang ketimpung kesana kemari. Tak disangka, ayah saya menginjak seekor Bulu
Babi, hewan beracun yang mempunyai duri seperti landak. Memang sebelum snorkeling, kami sudah diingatkan untuk
berhati-hati, tidak boleh menginjakkan kaki sembarangan ke terumbu karang
apalagi memegang hewan-hewan laut karena ada beberapa yang berbahaya. Sepatu
katak itu gunanya untuk melindungi kaki saat menyelam, tetapi Ayah saya melepas
sepatu itu dengan dalih membuat kaki terasa berat saat berenang. Nggak heran
deh kalau tidak sengaja menginjak Bulu Babi. Karena hal tersebut, ayah saya
melenguh kesakitan dan tidak bisa ber-snorkeling
lagi untuk beberapa hari kedepan. Sayang banget, padahal beliau pintar
berenang. Untunglah racun dari bulu babi itu tidak terlalu berbahaya, karena
tidak menyebar ke seluruh bagian tubuh. Hanya saja, bagian yang terkena duri
tersebut akan berbecak bentol-bentol kemerahan.
![]() |
| Bulu babi |
Setelah puas menikmati pulau
Menjangan Kecil, kami dilarikan agak jauh ke barat menuju pulau Cemara Besar.
Arus di sekitar pantai Barat tidak terlalu besar. Saat perjalanan itu, saya
diberitahu oleh bapak pemandu bahwa ada satu pulau yang telah dibeli oleh
investor asing dari Italia, saya lupa pulau apa namanya. Yang jelas di pulau
tersebut sudah dibangun resor-resor mewah yang dikhususkan untuk wisatawan
asing.
Matahari sudah mulai meninggi,
perut saya pun sudah menunggu untuk segera diisi. Sesampainya di pulau Cemara Besar,
kru mas Anto telah membawa alat untuk bakar-bakar ikan dalam satu perahu. Kami
pun disuruh menunggu ikan-ikan itu dibakar, sembari berjalan-jalan mengelilingi
pulau. Pulau itu tidak besar sehingga cukup mudah untuk ditelusuri. Airnya pun
terasa hangat membelai kaki. Tidak berapa lama, hidangan pun siap tersaji. Kami
disuguhkan beberapa ikan besar-besar yang unik sekali namanya. Ada ikan beo
yang berwarna biru, ikan kakak tua yang berwarna kekuningan, dan lain-lain.
Nama ikan disini sama seperti nama burung, kata pak pemandu sih karena ikan
disini terlalu banyak macamnya dan susah untuk dibedakan, jadilah namanya
disebut seperti burung. Rasa ikan bakar tersebut, tidak usah ditanya. Mantap
sekali, gan!!
Ditemani semilir angin yang
membelai ujung-ujung rambut, saya menyantap hidangan ikan bakar tersebut sampai
habis. Tidak lupa juga kru membawakan berbagai macam sambal sesuai selera, ada
sambal terasi, sambal pencit, dan sambal kecap. Ah, Indonesia, Indonesia.
Persis kayak salah satu iklan provider, kami dimanjakan sekali olehmu, oleh tanahmu yang indah, oleh makanan khas-mu yang nikmat tiada terkira. Hehehe.
Nah, setelah kenyang,
perjalanan pun dilanjutkan kembali. Perahu melaju menuju dermaga setelah kami
di beri kesempatan snorkeling di
tengah laut. Jadi, kalau di pulau Menjangan Kecil itu kami disuguhkan
pemandangan laut yang dangkal, maka kali ini kami disuguhkan oleh taman laut
yang indah dengan kedalaman ratusan meter dari permukaan laut. Bahkan, kata Ibu
dari Jogjakarta, beliau sempat melihat ikan hiu besar melintas dibawah kakinya.
Setelah itu, rombongan
mengunjungi tempat penangkaran
hiu yang ada di dekat dermaga. Pengunjung dibolehkan berenang dan berfoto
bersama hiu-hiu kecil disana. Karena hiu merupakan binatang yang agresif, kami
tidak diperbolehkan menyentuh bagian tubuhnya dengan sengaja. Pernah ada satu
peristiwa, dimana hiu tersebut memakan tangan manusia karena orang itu menarik
ekornya, LOL.
Sekedar info, di tempat
pembudidayaan hiu tersebut juga disewakan beberapa rumah terapung dengan tarif
lumayan terjangkau per harinya. Ini biasanya yang sering dibuat promosi pada
beberapa halaman website yang saya lihat.
Lantaran hari sudah semakin
sore, kami pun pulang menuju pulau Karimunjawa, pulau yang paling banyak
penduduknya dibanding pulau-pulau yang lain dalam rangkaian kepulauan di utara
Jawa tersebut.
Malam harinya, saya
menyempatkan diri untuk bersepeda meminjam sepeda “Polygon” milik mas Anto.
Sebelum bersepeda, mas Anto sempat bercanda, “Udah, keliling aja dek. Jalanan
disini gak banyak kok, nanti juga kamu muter-muter ketemu sendiri sama
penginapan ini.” . Saya berkeliling menyusuri alun-alun kecamatan, gang-gang
kecil perumahan penduduk, dan kembali lagi ke penginapan.
Daripada nanggung, mending saya
post juga ya kegiatan esok harinya. Hehehe.
![]() |
| Berfoto di Gosong |
Jadi, hari ketiga ini merupakan
hari terakhir kami di kepulauan Karimunjawa. Agenda hari itu adalah menelusuri
pulau di sebelah timur pulau Karimunjawa yang katanya berombak besar dan sering
terjadi badai. Pertama, tali perahu dikaitkan pada pinggiran Gosong, bernama
Gosong Seloka. Gosong adalah sebutan untuk pantai di tengah laut yang bisa
tenggelam dan timbul kapan saja. Ngeri nggak tuh?. Biasanya, gosong itu akan
tampak pada pagi hari dan akan tenggelam dengan sendirinya pada sore hari, saat
permukaan laut sudah meninggi. Disana kami berfoto-foto dan snorkeling *lagi*
sampai kulit rasanya mau terbakar.
Pulau di bagian timur
Karimunjawa tidak banyak, dan rata-rata harus ditempuh dalam perjalanan yang
lumayan lama karena letaknya yang cukup jauh. Dari gosong, perahu melaju ke
timur lagi menuju beberapa pulau kecil, yang saya lupa lagi namanya -___-“.
Parah ye pelupanya. Pokoknya di pulau itu, taman lautnya saya acungin dua
jempol, paling bagus deh daripada taman laut yang sebelumnya. Selain terumbu
karangnya yang berwarna-warni, ada juga ikan nemo dan biota laut lainnya yang
lucu-lucu. Kedalamannya juga tidak terlalu membuat bulu kuduk merinding.
Sia-sia deh kalau dilewatkan.
Nah, matahari sudah meninggi.
Kami tidak lupa melewatkan ritual biasa, makan ikan bakar yang dimasak oleh
tangan-tangan perkasa dari para kru mas Anto, ditambah berbagai sambal khas
yang mak nyooos.
Oke, setelah kekenyangan kami
pun dibawa ke beberapa pulau lainnya. Saat itu saya dibuat ngantuk oleh semilir
angin dan perut yang terisi full,
sehingga saya pun tidur di dalam perahu dan tidak sempat turun menyaksikan tempat
destinasi yang lain. Pokoknya saat saya sudah sadar, saya melihat satu
rombongan perahu dari mahasiswa pencinta alam UNDIP yang snorkeling di tengah laut.
Saat pulang, perahu melaju
lebih lambat dari sebelumnya. Sang pemegang kendali perahu seakan tahu cara
memanjakan kami pada hari-hari terakhir di Kepulauan Karimunjawa. Karena di
sela-sela perjalanan itu, kami disuguhkan pemandangan langit oranye yang penuh
oleh sisa-sisa sinar mentari yang akan tenggelam di ufuk barat. Tidak saya
sadari, kulit yang sudah berubah kehitaman karena terbakar oleh sengatan
matahari beberapa hari itu. Sampai di Surabaya, harus melakukan pemutihan kulit
nih.
Dan malam terakhir hari itu,
saya lewati dengan berdiam saja di kamar. Mengamati hangatnya sinar rembulan di
balkon depan kamar, dan mendengarkan beberapa lagu dari handphone. Galau, yah, galau meninggalkan tempat seindah Karimunjawa.
Sementara di bawah, Mas Boni, Ibunya mas Boni, Mbak Benta, dan Mbak Lusi asyik
bercengkerama. Sayup-sayup saya mendengar cerita mbak Benta, “Beneran loh,
Karimunjawa ini lebih asyik daripada di Lombok, Bali, atau dimanapun tempat
yang udah gue kunjungi. Pantainya masih alami, bersih, dan yang lebih penting
lagi gue bisa berenang pakai bikini tanpa banyak orang yang lihat.” yang
kemudian disusul dengan cengiran dan suara ketawa dari lainnya. “Ah, loe mah
bisa aja. Mau ada yang liat ato gak, loe tetep pake bikini kan kalo
kemana-mana.” kata mbak Lusi. “Daripada loe yang pake bikini, tar dikira Gajah
Ragunan lepas lagi. Hihihi.” sahut mbak Benta lagi.
Ah….. malam itu pun kami packing karena ternyata harus pulang
malam itu juga. Rombongan mahasiswa pencinta alam dari UNDIP itu sudah tidak
punya tempat untuk menginap, kecuali di kamar atas tempat kami tidur tiga hari
itu. Kami pun harus mengalah. Kapal Feri yang mengantar kami pulang, berangkat
dari dermaga pukul 9 malam. Kami diantar oleh carry hijau ke dermaga, dan balik
pulang menaiki kapal Feri menuju Jepara.
Bye-bye
Care Moon Java.
I miss
you so bad.







0 comment:
Post a Comment