16 May 2012

Tentang Apa yang Kami Sebut 'Sekolah'

Pada hari minggu malam tidak jarang saya temukan celotehan siswa-siswi SMA di jejaring sosial seperti ini:
“Hadu ga kerasa uda minggu malem aja, itu berarti besok uda sekolah yaa. MALES!”
“Males ngerjain tugas, males belajar, males sekolah besok. Huuuuft”
Ya, fenomena semacam ini sudah saya lihat berpuluh-puluh bahkan ratusan kali. Hal tersebut membuat saya berpikir, ‘Kenapa ya mereka segan untuk bersekolah? Bukannya kalau di sekolah kita akan bertemu dengan teman-teman, mendapat ilmu dari bapak ibu guru. Juga mengurus kepanitiaan dan organisasi?’.
Pernah suatu saat saya bertanya kepada salah satu teman saya yang mengupdate status tentang malasnya bersekolah. Dia pun menjawab, “Ya gimana lagi sih. Sekolah itu memang kewajiban kita sebagai generasi muda yang masih harus belajar. Tapi lama-lama ya males aja gitulho. Pertama, sekolah itu membosankan. Dari hari senin sampe jumat kita harus bertahan duduk di kelas selama 8 jam penuh. Habis gitu gak jarang gurunya gak ngajar toh. Apa gak males masuk sekolah kalo gitu? Kedua. Tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Belajar nggak perlu dengan cara ngasih tugas atau PR yang segitu banyak kan. Ketiga, meterinya terlalu sulit. Apalagi tuh kayak pelajaran fisika. Mau belajar ratusan kali pun aku masih gak mudeng hahahah. Keempat, sekolah membuat kita harus bangun pagi, kalau telat pun harus dihukum dengan hukuman gajelas yang herannya nggak membuat efek jera."
Terkadang tweet atau status yang seperti itu juga mempengaruhi mood saya secara tidak langsung. Benar juga ya kalau besok sudah sekolah berarti saya sudah harus dihadapkan kembali dengan tumpukan tugas, ulangan, atau pekerjaan rumah alias PR yang menunggu untuk dikerjakan. Benar juga ya kalau saya besok harus bangun pagi, dan setelah itu saya harus duduk manis mendengarkan pelajaran selama 8.5 jam. Wow!
Jujur saya rindu sekali dengan semangat saya untuk bersekolah ketika saya masih menjajaki bangku sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama. Saya tidak ragu untuk bangun pagi, ketika fajar bahkan belum menyongsong. Saya tidak pernah terbebani dengan tugas atau ulangan yang akan saya hadapi nanti. Saya berusaha untuk selalu mengerjakan tugas demi tugas dengan semaksimal mungkin, demi mendapat nilai yang bagus dan tidak mengecewakan orang tua saya.
Namun, semuanya berubah ketika saya sudah berstatus sebagai siswa sekolah menengah atas ini. Ya, saya tahu kalau SMAN 5 adalah sekolah favorit yang telah diimpikan oleh ribuan siswa. SMA 5 telah menggapai banyak prestasi dan \kejuaraan. Siswa SMA 5 tentu bukan hanya siswa biasa. Mereka berpikir, berkarya, dan berorganisasi. Saya pun merasa beruntung menjadi bagian dari sekolah ini.
Tetapi, sekolah menengah atas tentu berbeda dengan sekolah pada jenjang dibawahnya. Apabila dahulu jika mengerjakan tugas kami akan mendapat nilai, maka sekarang sudah tidak lagi. Nilai memang tidak kami anggap sebagai patokan, tetapi adanya nilai membuat usaha kami tidak sia-sia. Bahwa usaha kami –sejelek atau sebagus apapun-- masihlah dihargai. Nilai juga membuat kami menyadari bahwa usaha kami belum terlalu baik, sehingga nilai yang kami peroleh tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan sebelumnya.
Di sekolah menengah atas ini, tidak jarang juga saya mengerjakan ulangan yang materinya belum diterangkan sama sekali. Entah guru yang terlalu sibuk untuk mengajar atau bagaimana, ketika dihadapkan dengan situasi seperti itu pun kami menjadi kelabakan. Kami akhirnya mencari berbagai cara untuk lepas dari jerat remidi. ‘Daripada harus remidi, lebih baik nyontek atau ngrepek aja’ begitulah pikir kami. Ya memang harus diakui bahwa mencontek itu bukan perbuatan yang baik. Hasil yang kita peroleh tidak murni dari usaha kita sendiri. Mencontek itu layaknya mencuri. Tapi kalau tidak mencontek nanti remidi.
Bagai memakan buah simalakama, kami dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Keduanya mengandung resiko dan penyesalan masing-masing. Andai kami diajarkan materi dengan lebih gamblang dan jelas, mungkin kami tidak akan ‘menghalalkan berbagai cara’ untuk lolos dari ancaman remidi.
Guru di sekolah–kami rasa—belum mengajarkan materi pelajaran secara jelas dan kreatif. Tidak heran apabila kami akhirnya lari ke guru LBB (Lembaga Bimbingan Belajar). Pengajaran disana memang bisa menjadikan kami lebih paham dan mengerti. Padahal rumus cepat yang diajarkan  sebenarnya tidak membuat kita lebih kreatif.
Terdapat beberapa hal lagi yang saya rasa berbeda. Diantaranya aturan dan sistem yang ditetapkan oleh sekolah. Kami sering bingung dengan ketetapan sekolah yang terkadang plin-plan, seringkali berubah dan tidak konsisten.
Lingkungan belajar kami menjadi tidak nyaman karena kami terlalu dibatasi. Padahal sebenarnya kami bisa berkembang menurut potensi dan bakat masing-masing jika saja kami dibiarkan bebas bereksplorasi.
Ya, saya disini tidak berharap banyak untuk mengubah kebijakan sekolah. Namun saya berharap agar suasana sekolah lebih luwes dan mendukung kami dalam belajar. Bukannya membuat kami seperti berada di ‘penjara semu’ dimana kami disiksa oleh banyaknya tugas dan deadline yang mengancam. Kami adalah pelajar yang tugasnya untuk belajar, bukan?

0 comment: