Pada hari minggu malam
tidak jarang saya temukan celotehan siswa-siswi SMA di jejaring sosial seperti
ini:
“Hadu ga kerasa uda minggu malem aja,
itu berarti besok uda sekolah yaa. MALES!”
“Males ngerjain tugas, males belajar,
males sekolah besok. Huuuuft”
Ya, fenomena semacam
ini sudah saya lihat berpuluh-puluh bahkan ratusan kali. Hal tersebut membuat
saya berpikir, ‘Kenapa ya mereka segan untuk bersekolah? Bukannya kalau di
sekolah kita akan bertemu dengan teman-teman, mendapat ilmu dari bapak ibu
guru. Juga mengurus kepanitiaan dan organisasi?’.
Pernah suatu saat saya bertanya kepada salah satu teman saya yang mengupdate status tentang malasnya bersekolah. Dia pun menjawab, “Ya gimana lagi sih. Sekolah itu memang kewajiban kita sebagai generasi muda yang masih harus belajar. Tapi lama-lama ya males aja gitulho. Pertama, sekolah itu membosankan. Dari hari senin sampe jumat kita harus bertahan duduk di kelas selama 8 jam penuh. Habis gitu gak jarang gurunya gak ngajar toh. Apa gak males masuk sekolah kalo gitu? Kedua. Tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Belajar nggak perlu dengan cara ngasih tugas atau PR yang segitu banyak kan. Ketiga, meterinya terlalu sulit. Apalagi tuh kayak pelajaran fisika. Mau belajar ratusan kali pun aku masih gak mudeng hahahah. Keempat, sekolah membuat kita harus bangun pagi, kalau telat pun harus dihukum dengan hukuman gajelas yang herannya nggak membuat efek jera."
Pernah suatu saat saya bertanya kepada salah satu teman saya yang mengupdate status tentang malasnya bersekolah. Dia pun menjawab, “Ya gimana lagi sih. Sekolah itu memang kewajiban kita sebagai generasi muda yang masih harus belajar. Tapi lama-lama ya males aja gitulho. Pertama, sekolah itu membosankan. Dari hari senin sampe jumat kita harus bertahan duduk di kelas selama 8 jam penuh. Habis gitu gak jarang gurunya gak ngajar toh. Apa gak males masuk sekolah kalo gitu? Kedua. Tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Belajar nggak perlu dengan cara ngasih tugas atau PR yang segitu banyak kan. Ketiga, meterinya terlalu sulit. Apalagi tuh kayak pelajaran fisika. Mau belajar ratusan kali pun aku masih gak mudeng hahahah. Keempat, sekolah membuat kita harus bangun pagi, kalau telat pun harus dihukum dengan hukuman gajelas yang herannya nggak membuat efek jera."
Terkadang tweet atau
status yang seperti itu juga mempengaruhi mood saya secara tidak langsung.
Benar juga ya kalau besok sudah sekolah berarti saya sudah harus dihadapkan
kembali dengan tumpukan tugas, ulangan, atau pekerjaan rumah alias PR yang
menunggu untuk dikerjakan. Benar juga ya kalau saya besok harus bangun pagi,
dan setelah itu saya harus duduk manis mendengarkan pelajaran selama 8.5 jam.
Wow!
Jujur saya rindu sekali
dengan semangat saya untuk bersekolah ketika saya masih menjajaki bangku
sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama. Saya tidak ragu untuk bangun
pagi, ketika fajar bahkan belum menyongsong. Saya tidak pernah terbebani dengan
tugas atau ulangan yang akan saya hadapi nanti. Saya berusaha untuk selalu
mengerjakan tugas demi tugas dengan semaksimal mungkin, demi mendapat nilai
yang bagus dan tidak mengecewakan orang tua saya.
Namun, semuanya berubah
ketika saya sudah berstatus sebagai siswa sekolah menengah atas ini. Ya, saya
tahu kalau SMAN 5 adalah sekolah favorit yang telah diimpikan oleh ribuan
siswa. SMA 5 telah menggapai banyak prestasi dan \kejuaraan. Siswa SMA 5
tentu bukan hanya siswa biasa. Mereka berpikir, berkarya, dan berorganisasi.
Saya pun merasa beruntung menjadi bagian dari sekolah ini.
Tetapi, sekolah
menengah atas tentu berbeda dengan sekolah pada jenjang dibawahnya. Apabila
dahulu jika mengerjakan tugas kami akan mendapat nilai, maka sekarang sudah
tidak lagi. Nilai memang tidak kami anggap sebagai patokan, tetapi adanya nilai
membuat usaha kami tidak sia-sia. Bahwa usaha kami –sejelek atau sebagus
apapun-- masihlah dihargai. Nilai juga membuat kami menyadari bahwa usaha kami
belum terlalu baik, sehingga nilai yang kami peroleh tidak sesuai dengan apa
yang kami harapkan sebelumnya.
Di sekolah menengah
atas ini, tidak jarang juga saya mengerjakan ulangan yang materinya belum
diterangkan sama sekali. Entah guru yang terlalu sibuk untuk mengajar atau
bagaimana, ketika dihadapkan dengan situasi seperti itu pun kami menjadi
kelabakan. Kami akhirnya mencari berbagai cara untuk lepas dari jerat remidi.
‘Daripada harus remidi, lebih baik nyontek atau ngrepek aja’ begitulah pikir
kami. Ya memang harus diakui bahwa mencontek itu bukan perbuatan yang baik.
Hasil yang kita peroleh tidak murni dari usaha kita sendiri. Mencontek itu
layaknya mencuri. Tapi kalau tidak mencontek nanti remidi.
Bagai memakan buah
simalakama, kami dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Keduanya mengandung
resiko dan penyesalan masing-masing. Andai kami diajarkan materi dengan lebih
gamblang dan jelas, mungkin kami tidak akan ‘menghalalkan berbagai cara’ untuk
lolos dari ancaman remidi.
Guru di sekolah–kami
rasa—belum mengajarkan materi pelajaran secara jelas dan kreatif. Tidak heran
apabila kami akhirnya lari ke guru LBB (Lembaga Bimbingan Belajar). Pengajaran
disana memang bisa menjadikan kami lebih paham dan mengerti. Padahal rumus
cepat yang diajarkan sebenarnya tidak membuat kita lebih kreatif.
Terdapat beberapa hal
lagi yang saya rasa berbeda. Diantaranya aturan dan sistem yang ditetapkan oleh
sekolah. Kami sering bingung dengan ketetapan sekolah yang terkadang plin-plan,
seringkali berubah dan tidak konsisten.
Lingkungan belajar kami
menjadi tidak nyaman karena kami terlalu dibatasi. Padahal sebenarnya kami bisa
berkembang menurut potensi dan bakat masing-masing jika saja kami dibiarkan
bebas bereksplorasi.
Ya, saya disini tidak
berharap banyak untuk mengubah kebijakan sekolah. Namun saya berharap agar
suasana sekolah lebih luwes dan mendukung kami dalam belajar. Bukannya membuat
kami seperti berada di ‘penjara semu’ dimana kami disiksa oleh banyaknya tugas
dan deadline yang mengancam. Kami adalah pelajar yang tugasnya untuk belajar,
bukan?
0 comment:
Post a Comment