Untuk keperluan lomba karya ilmiah yang diadakan oleh salah satu instansi pemerintahan, kami –aku, chiki, dan astrid— memutuskan untuk melakukan riset langsung ke perusahaan Danareksa, sebuah perusahaan Negara yang mengelola investasi dalam bentuk reksadana. (Kebetulan) reksadana adalah topik utama yang akan kami angkat dalam karya ilmiah tersebut.
Siang itu, tanpa ditemani Chiki yang masih berduka sepeninggal neneknya di Jombang, aku dan Astrid pun nekat berangkat. Padahal, sebelumnya kami sudah diwanti-wanti oleh mbak Ayu dan mas Arya –yang lebih berpengalaman dalam lomba karya ilmiah—agar lebih dulu membuat surat rekomendasi dari sekolah sebelum survei ke tempat tujuan. Kami tidak menggubris, toh kami hanya ingin menanyakan perihal struktur dan tujuan perusahaan saja, tidak lebih.
Berbekal uang pas-pasan, kami naik bemo W dari perempatan sekolah. Sebelum menaiki bemo tersebut, aku yang khawatir akan kesasar pun bertanya kepada supir bemo, “Pak, ini jurusan gramedia expo ya?” “Ooh iya iya, jgn khawatir mbak pasti nyampe kok, gak akan kesasar”. Separuh yakin menaiki bemo. Lima belas menit kemudian, “Ayoo yang jatim expo. jatim expoooo!!!” (padahal lagi di depan gramex) puhliiiis jatim expo sama gramedia expo kan beda banget jauhnya, emang nama rada-rada mirip. tapi ya tetep aja beda kali pak.
Nah setelah nyampe di perusahaan danareksa, yang huruf a nya mirip e kebalik. –denerekse :p—. kami mendapat penolakan pahit. Salah kami memang tidak menggubris petuah dari tetua-tetua, nyelonong. Satpam berbadan tinggi gegap menghadang, menanyakan surat ijin untuk riset. Setengah gelagapan kami tidak tahu harus menjawab apa. Satpam itu menyarankan agar kami kembali dengan membawa surat ijin beserta proposal (lu pikir mau minta sumbangan?) “Lain kali kalo kesini jangan jam-jam segini, ini jam istirahat. Bosnya aja nggak ada.” Oooh, ya. Usaha kami nyampe ke tempat itu bisa dibilang sia-sia.
Dengan perasaan jengah, kami melangkahkan kaki ke luar. Sekilas aku melihat seorang kakek tua yang menjajakan pukis di depan perusahaan, pukis tradisional. Nuraniku tergugah. Usaha ini mungkin tidak sia-sia, belum. Hanya butuh lebih banyak persiapan dan juga pengorbanan.
Kemudian, kami pun memutuskan untuk ke TP dengan jalan kaki. Lumayan jauh jaraknya, namun tidak terasa jauh karena aku ditemani Astrid. Dari kecil aku selalu merasa seperti itu, takut berjalan sendirian. Cz feeling unsafe. Sebaliknya ketika ada seseorang disamping, berapapun jarak yang ditempuh tidak akan terasa jauh. “Yaampun satpam tadi lho, nyuruh kita bawa proposal segala. Kita udah kayak orang minta sumbangan aja deh hahahah” celetuk Astrid. “Iyaa, tapi masih untung lo kita gak langsung digepak keluar” jawabku. Sepanjang perjalanan itu, kami melewati sekelompok kuli bangunan yang sedang beristirahat di pinggir trotoar. Kami pun tidak lepas dari godaan-godaan nyeleneh mereka. Kuli bangunan –yang astrid sebut sebagai rembang, remaja bangunan—memang tenaga kerja yang banyak sekali digunakan di kota metropolitan kedua ini, seiring dengan pembangunan gedung-gedung dan bangunan mewah apalagi. Kalo tidak ada mereka, mall-mall, perumahan, dan bangunan lainnya tidak akan pernah terbentuk. Tetap saja, seringkali job mereka dipandang rendah oleh masyarakat, dibayar dengan upah seadanya. Ironis.
Tanpa sadar, karena efek ngobrol ngalor ngidul. Sepatu –baru-- Astrid kejeblok ke sebuah lubang kecil di trotoar. Ia merutuk, “Aduh! ini sepatu aneh banget sih, uda dua kali kejeblok lubang. Kalo udah tiga kali dapet piring kali yaa” “Huahahah aneh-aneh aja dapet piring, emangnya undian” celetukku. Dan kami akhirnya sampai di depan TP -Tunjungan Plaza --, mall yang katanya mewah dan full branded di pusat kota Surabaya xixixixi.
Aku tidak terlalu mempedulikan barang-barang yang dipamerkan di sisi kiri kanan mall. Tujuanku hanya satu, menuju foodcourt, dan makaaaan!!. Cukup susah menyesuaikan kantongku dengan harga makanan di foodcourt itu, akhirnya dapet juga makanan seharga 15 ribu. Makanan yang uda biasa aku pesen di mall-mall lain. Sampe bosen, tapi daripada mesen makanan lain yang lebih mahal. Mending ngirit ongkos ding. Obrolan kami masih berlanjut saat makan. Astrid berujar, “Sis, sepertinya kelas kita belum bisa kompak ya” “Ya mungkin belum ada momen pas yang bisa bikin kelas kita kompak, trid” “Oh iyata, momen pas yang kayak gimana?” “Kelasku dulu juga kayak gitu, gak bisa nyatu anak-anaknya. Tapi setelah makan bareng dan jalan-jalan. Perlahan gap yang memisahkan perbedaan kita semakin mengendur. Kita bisa lebih mudah bertoleransi dan belajar untuk ngehargain anak kelas, lho” “Oh gitu, tapi mana bisa kelas kita keluar bareng…. kelas dua belas IPS bisa kompak masak kita nggak” “Bukannya nggak, tapi masih belum.”
10 Februari 2012, hari ini mungkin terlalu panjang untuk dituliskan. Tapi setiap detik yang aku lewati ini bermakna, setiap senti jarak dan tujuan yang aku tuju adalah tapak kaki pengalaman. Dan setiap orang yang aku temui adalah orang-orang yang luar biasa bersemangat untuk melanjutkan hidup dan menuliskan tinta nasibnya. Kalau mereka semangat, mengapa aku tidak? Jawabannya KARENA aku masih dalam tahap belajar untuk menerima dengan ikhlas masa laluku. Sekian.
0 comment:
Post a Comment